Apresiasi Cerpen "PASIR RETAK", Karya Afrizal Malna
Oleh: Abdul Mukhlis (Penikmat Sastra)
Pasir Retak
Cerpen Afrizal Malna (Jawa Pos, 20 Mei 2012)
HUJAN turun di atas api. Suara api dan suara hujan
bercampur seperti suara sungai dengan alirannya yang deras. Keduanya
menjadi nyanyian cinta menjelang senja.
Hujan tak tahu kenapa api membuat warna merah jingga yang panas, api juga tak tahu kenapa hujan dipanggil hujan setiap
ia turun, seperti mahluk terbuat dari air yang turun dari langit.
Mereka berdua, hujan dan api itu, mengatakan: biarlah angin terus
berjalan dari kota ke kota, mengantar gunung dan laut kepadamu,
mengantar langit dan tanah kepadamu, mengantar bisik-bisik dari dalam
sejarah lebih dekat lagi dengan telingamu. Keduanya menolak tentang
berita yang disiarkan beberapa pemancar TV, bahwa telah turun “hujan
api” di sebuah kota.
Kami adalah hujan dan api, bukan hujan-api.
Basa-basi itu, antara hujan dan api, mereka katakan itu setiap pagi
hanya untuk merayu agar angin mengunjungi pintu-pintu rumah yang masih
tertutup di pagi hari. Kadang, angin itu, menempelkan selembar daun di
daun pintu rumah yang masih tertutup. Dan mengatakan, aku tidak pernah
memikirkan bagaimana waktu menghitung dirinya setiap saat, dan sedikit
kecelakaan yang kadang-kadang terjadi.
Kami adalah hujan dan api untuk sejarahmu yang disimpan oleh angin.
***
Pagi itu langit berwarna biru. Hanya biru. Tak ada awan. Seperti
lengkungan dari bundaran bola yang rata. Mirip kubah biru mengapung di
atas kabut. Angin, yang merajut daun-daun dengan dahannya, rumah dengan
tanah tempatnya berdiri, laut dengan ombaknya, gunung dengan jurang dan
tebing-tebingnya, tidak berhembus. Semua yang dilihat tampak kaku,
gambar-gambar yang tak bergerak, alam dan kehidupan hadir seperti
tempelan-tempelan potret dalam sebuah bola.
Di Semarang, dalam sebuah bangunan tua yang dibuat akhir abad 19,
seorang perempuan sedang melahirkan. Bangunan dengan tiang-tiang tinggi,
tembok-tembok besar, teras yang juga besar ini, kini sudah berubah
menjadi kantor sebuah bank. Bangunan dengan arsitektur kolonial ini
banyak tersebar di kota yang sangat dekat dengan kaki-kaki air. Setiap
hujan datang atau laut pasang, banjir akan menggenanginya. Di lingkungan
luarnya, bayangan bukit-bukit dan gunung, berdiri seperti candi-candi
alam yang dihasilkan oleh proses geologi waktu yang panjang dan
terus-menerus.
Perempuan yang melahirkan itu datang dari keluarga petani yang
tinggal di sebuah desa di Bromo, Jawa Timur. Perempuan itu tidak tahu
kenapa ia memilih kota Semarang untuk melahirkan bayinya. Ia hanya
memenuhi dorongan dari dalam dirinya untuk pergi ke semarang, dan
melahirkan bayinya di bangunan tua yang kini sudah menjadi kantor bank
itu.
Seluruh pegawai bank panik melihat seorang perempuan tiba-tiba
melahirkan. Perempuan itu tidak mungkin dibawa ke rumah sakit karena
begitu saja ia melahirkan di kursi tempat nasabah bank menunggu antrian.
Kaki perempuan itu mengangkang. Ia tidak mengeluarkan suara sedikit
pun. Ia hanya menggigit telapak tangannya hingga berdarah saat
mengeluarkan bayinya dari rahimnya.
Ketika bayi itu lahir, melewati vagina ibunya, ia seperti keluar
melewati hujan dan api. Suara sungai dengan alirannya yang deras dan
suara cinta menjelang senja. Lalu angin kembali berhembus. Bayi itu
seorang perempuan dan diberi nama Kembang Kertas. Ibunya tak tahu kenapa nama ini tiba-tiba saja muncul dalam benaknya dan menjadi nama untuk bayinya.
Kelahiran itu mengejutkan seluruh pegawai dan nasabah bank karena
bayi itu tidak berwajah. Mukanya rata, tetapi tampak anggun dan indah.
Mulutnya terletak pada pusarnya, telinganya ada di bahunya. Seluruh
bagian tubuhnya bisa bernapas dan mencium berbagai bau di sekitarnya.
Dokter-dokter yang datang tidak bisa mengatakan bahwa bayi itu cacat
karena seluruh indranya berfungsi dengan baik, hanya letaknya berubah.
Tubuh manusia seperti mengalami revolusi melalui kelahiran Kembang
Kertas.
Ibunya kembali membawa Kembang Kertas ke desanya, di Bromo. Suaminya
hanya seorang lelaki desa sederhana, yang kadang mencari tambahan uang
dengan menyewakan kuda kepada turis, mengantar turis mengelilingi padang
pasir dari kawah Bromo.
Kembang Kertas tumbuh dengan dunianya sendiri. Ia sensitif untuk
hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ia bisa duduk
berlama-lama hanya menghadap tembok di rumahnya. Kadang selama 8 jam ia
hanya duduk menghadap ke tembok. Dan orang tidak pernah ada yang tahu,
apa yang sedang dilihatnya, karena kedua matanya ada di telapak
tangannya. Wajahnya yang rata membuatnya hidup seperti memakai topeng
yang selalu menutupinya.
Ia tidak mau sekolah. Setiap diajak ke sekolah ia menjerit-jerit
seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan baginya. Semua yang
dilihatnya seakan-akan bukan kenyataan yang sebenarnya. Kedua matanya
yang terletak di telapak tangannya, dan selalu mengeluarkan suara
seperti suara mekanik dari kamera yang sedang merekam, bisa melihat dua
kenyataan sekaligus: kenyataan yang terlihat dan kenyataan yang
tersembunyi.
Kembang Kertas memang tidak mau sekolah. Tapi tidak ada yang tahu
kalau setiap hari ia selalu belajar bahasa rahasia melalui kenyataan
tersembunyi yang dilihatnya. Kabut, katanya, aku bukanlah timbunan air yang pergi dari botol-botol minumanmu. Pohon, katanya, aku tidak mengerti bagaimana caranya menyintaimu. Sejarah, katanya, aku tidak mempunyai obat untuk menyembuhkan lukamu. Cinta, katanya, aku selalu heran apakah ada hati yang terbuat dari sebuah pagi yang baru saja meninggalkan malam.
Semua seperti hadir dalam pasangan yang tidak semestinya. Pasangan
yang selalu dibuat berbeda. Tetapi keduanya terajut kembali menghasilkan
pakaian baru, dan pakaian itu akan menjadi doa dan cinta bagi yang
mengenakannya.
Setiap menonton TV bersama ibu dan ayahnya, di rumah mereka seperti
sedang terjadi sebuah ritual, karena Kembang Kertas menonton TV lewat
kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangannya akan terangkat ke atas
seperti orang menyembah, menyusuri layar monitor TV. Setiap menonton
siaran berita, Kembang Kertas akan mengatakan: bukan dia
pembunuhnya… bukan dia pelaku korupsi itu… istri anggota DPR itu
memiliki banyak pacar… di dalam rumah itu ada banyak senjata dan uang …
bukan dia yang meledakkan hotel itu.
Kembang Kertas bisa menunjukkan dengan tepat siapa pelaku
sesungguhnya dari banyak siaran berita peristiwa kriminal, politik, dan
berita-berita lainnya di TV. Kemampuan Kembang Kertas seperti itu
membuat ibu dan ayahnya takut. Kemampuan yang berbahaya. Kemampuan yang
bisa membuat kekacauan baru. Kemampuan yang membuat kedua orang tua
Kembang Kertas heran, apa itu manusia apa itu hidup apa itu semua yang dijalaninya? Dan kedua orang tua kembang kertas berusaha menyembunyikan kemampuan Kembang Kertas seperti itu dari dunia luar.
***
Hujan turun di atas api. Percikan-percikan air dan api memisahkan
diri dari hujan dan api, bertebaran di udara. Yang satu seperti kumpulan
titik-titik bening yang bergerak memencar, satunya lagi seperti
kumpulan titik-titik merah menyilaukan. Percikan-percikan air dan api
itu membuat kembangnya sendiri, seperti tahun baru yang dirayakan oleh
para pertapa di puncak gunung.
Kembang air dan kembang api menari-nari, saling memecah dan membelah
diri, lalu bersatu kembali menjadi nyanyian cinta di akhir malam. Mereka
berdua melukis waktu seperti daun-daun yang tumbuh menutupi seluruh
daun dan batangnya sendiri. Setiap pagi menjelang, pohon yang seluruh
dirinya telah tertutup daun itu, menyambut matahari lewat warna hijaunya
yang terbuka. Tanah, mungkin bisa berubah kembali menjadi besi atau buah pepaya, tetapi tidak mungkin berubah menjadi sebuah hotel, katanya. Laut, mungkin bisa berubah menjadi balok es atau ikan-ikan, tetapi tidak mungkin berubah menjadi sebuah TV, katanya.
***
Di Batu Sangkar, Sumatra Barat, sebuah kota dengan suasana Minang
lama, kejadian yang sama terulang. Sebuah bangunan dengan arsitektur
kolonial, yang kini sudah berubah jadi bangunan untuk sekolah, tiba-tiba
kedatangan seorang perempuan yang akan melahirkan. Perempuan itu datang
dari sebuah keluarga sederhana yang hidup dari berdagang pakaian di
Medan.
Murid-murid dan guru-guru di sekolah itu panik melihat perempuan itu
melahirkan. Kakinya mengangkang. Ia tidak mengeluarkan suara ketika
melahirkan. Tetapi darah dari lidahnya menetes. Perempuan itu menahan
rasa sakit dengan menggigit lidahnya sendiri. Seorang bayi perempuan
kemudian lahir melalui vagina ibunya seperti melahirkan tarian-tarian
kembang air dan kembang api.
Bayi perempuan tidak berwajah itu, wajahnya rata seperti dinding
ember plastik, mirip dengan bayi yang lahir di Semarang. Bayi itu juga
diberi nama Kembang Kertas oleh ibunya.
Bayi itu tumbuh bersama butiran-butiran waktu yang membesarkannya.
Setiap saat, waktu melayani dan menyusuinya, karena air susu ibunya
sendiri kering. Kembang Kertas minum susu dari air susu waktu, setiap ia
merasa haus. Jiwa dan tubuhnya sangat sensitif. Ia tumbuh seperti
seonggok daging yang berjalan tanpa tulang.
Ketika Kembang Kertas mulai mengenali kehidupan sosial, bahwa setiap
orang memiliki nama, ia melihat manusia seperti omong kosong yang
cerewet. Ia merasa bahasa lebih banyak melukainya daripada membantunya
berkomunikasi. Beberapa kata, seperti menyimpan luka dan pisau
sekaligus. Kembang Kertas kemudian lebih banyak sendiri. Waktunya lebih
banyak dihabiskan dengan mencuci. Setiap hari ia mencuci apa pun yang
kotor, dari pakaian kotor, cucian kotor, sampai dengan membersihkan
genteng-genteng yang berjamur.
Pagi itu langit berwarna biru. Hanya biru. Tak ada awan. Seperti
lengkungan dari bundaran bola yang rata. Mirip kubah biru mengapung di
atas kabut. Angin, yang merajut daun-daun dengan dahannya, rumah dengan
tanah tempatnya berdiri, laut dengan ombaknya, gunung dengan jurang dan
tebing-tebingnya, tidak berhembus. Semua yang dilihat tampak kaku,
gambar-gambar yang tak bergerak, alam dan kehidupan hadir seperti
tempelan-tempelan potret dalam sebuah bola.
Lalu Kembang Kertas mulai menggerakkan tangannya di atas permukaan
air, di bak mandi kamar mandi rumahnya. Air beriak dan bergerak. Halus
dan sangat halus. Tempelan-tempelan potret itu pun mulai bergerak. Dalam
bak mandi itu, Kembang Kertas seperti bisa melihat seluruh sejarah yang
pernah terjadi. Tentang armada laut yang bergerak dari Maluku, membawa
rempah-rempah, berlayar memasuki gerbang Malaka, kehidupan di Sriwijaya,
Majapahit atau Singosari. Kerajaan Pajajaran dan Mataram.
Orang-orang yang terus belajar bersama waktu, kemudian menjelma
menjadi air setelah mereka mati. Waktu bergerak seperti seekor gajah
yang menanam pohon beringin di mana-mana. Dan pada saat yang sama,
orang-orang membunuh gajah itu dan membunuhnya, dan menebangi
pohon-pohon beringin itu setelah tumbuh besar. Kami membunuhi gajah-gajah dan menebangi pohon-pohon agar keluarga kami bisa hidup, katanya.
Kembang Kertas membaca banyak sejarah yang telah ditulis, tidak sama
dengan sejarah yang disaksikan dalam air bak kamar mandinya. Ia bisa
melacak seluruh jejak sejarah, seperti memasuki rekaman video yang
dibuat oleh air mata dan buih-buih ombak. Matahari tropis membuat warna
sejarah itu tampak lebih kekuning-kuningan dan berdebu.
Hari mungkin telah malam, mungkin telah pagi, mungkin akan menjelang siang, katanya, sayang sekali jam di tanganku bukanlah hitung-hitungan bulan dan matahari.
Orang tua Kembang Kertas di Medan, cemas, karena anaknya bisa berbahasa
Jawa, bahasa Aran, China dan Sansakerta. Padahal tidak pernah ada yang
mengajarinya bahasa-bahasa itu. Ketika ia berusia 9 tahun, Kembang
Kertas juga bisa berbahasa Belanda, Rusia, Jerman dan Inggris. Dan tak
ada seorang pun yang pernah mengajarinya bahasa-bahasa itu.
Kembang Kertas, tubuhnya, menjadi sarang sejarah dan bahasa-bahasa.
Ia semakin takut untuk bertemu dengan orang lain. Ia terus mencuci
sepanjang hari. Hingga suatu hari ia bertemu dengan sebuah sungai.
Sungai itu begitu bening, mengalir seperti sungai kata-kata. Sungai yang
mengalirkan banyak bahasa dan sejarah pada batang tubuhnya. Bahasa dan
sejarah menjadi begitu bening dilihatnya, mengalir dalam sungai itu.
Ikan-ikan menggunakan berbagai bahasa itu untuk bernyanyi dalam
sungai itu. Batu menggunakan berbagai warna dari sejarah dalam sungai
itu. Pasir di sungai, hidup dalam buaian musik gamelan yang terus
berbunyi di dasarnya. Seniman-seniman menjadi gila untuk mewarnai
kehidupan.
Sungai itu begitu menggoda perhatian Kembang Kertas. Kembang Kertas
mulai merasakan tubuhnya seperti air yang sedang beriak, menetes,
merembes ke dalam tanah di pingggir sungai itu. Air terus menetes dari
tubunhnya dan terus merembes ke dalam tanah di pingggir sungai itu.
Waktu juga seperti ikut menetes, langit ikut menetes, pohon-pohon ikut
menetes, sungai ikut menetes.
Setelah itu, orang tidak pernah melihat Kembang Kertas. Keluarganya
telah mencarinya ke mana-mana. Tetapi Kembang Kertas seperti telah sirna
begitu saja. Tetapi, setiap orang menangkap ikan di sungai itu, ikan
itu menetes dan menjadi air di telapak tangan mereka.
Di Yogyakarta… di Bandung… di Makassar… di Denpasar… di Cirebon… di
Palembang… di Solo… Jakarta… juga di Amsterdam, Tokyo dan di New York,
lahir bayi perempuan yang sama, tanpa wajah. Mereka semua lahir dalam
sebuah bangunan dengan arsitektur kolonial.
Mereka semua bernama Kembang Kertas. (*)
Apersiasi:
- Alur : Maju.
- Tema :
Kemampuan indera ke enam yang dimiliki Kembang Kertas.
- Tokoh
dan Watak :
1.
Perempuan dari keluarga petani (Ibu Kembang Kertas 1), watak: Aneh, penyayang
terhadap Kembang Kertas, penakut, suka menyimpan rahasia akan kemampuan aneh
Kembang Kertas.
2.
Perempuan dari keluarga pedagang (Ibu Kembang Kertas 2), watak: Aneh, penyayang
terhadap Kembang Kertas, penakut, suka menyimpan rahasia akan kemampuan aneh
Kembang Kertas.
3.
Ayah Kembang Kertas 1, watak: Pekerja keras, penakut, suka menyimpan rahasia
akan kemampuan aneh Kembang Kertas.
4.
Kembang Kertas 1, watak: Pemalu, suka menyendiri, rajin dan memiliki kemampuan
indera ke enam.
5.
Kembang Kertas 2, watak: Pemalu, suka menyendiri, rajin dan memiliki kemampuan
indera ke enam.
1.
Setting Tempat : Semarang (Jawa
Tengah), Bromo (Jawa Timur), Batu Sangkar (Sumatera Barat), dan Medan (Sumatera
Utara).
2.
Setting Waktu : -
3.
Setting Suasana : Mencekam, bahagia,
sedih, dan khawatir.
- Sudut
Pandang Pencerita: Maha tahu.
Cerpen
Pasir Retak menceritakan tentang dua keluarga yang berlainan tempat atau daerah
tetapi memiliki persamaan nasib dan kejadian. Persamaan nasib diantara keluarga
tersebut adalah sama-sama dikaruniai bayi tanpa wajah dan bayi itu memiliki
anatomi tubuh yang tidak wajar dari bayi pada umumnya. Kemudian persamaan
kejadiannya adalah bayi itu sama-sama lahir di tempat yang jauh dari tempat
tinggal asli orang tuanya. Yaitu di Semarang (Jawa Tengah), tempat kelahiran
Kembang Kertas 1, karena sebenarnya Ibu kembang Kertas 1 berasal dari Bromo
(Jawa Timur). Sedangkan di Batu Sangkar (Sumatera Barat), tempat kelahiran
Kembang Kertas 2 yang sebenarnya Ibu Kembang Kertas 2 berasal dari Medan
(Sumatera Utara). Lokasi atau tempat kelahiran mereka juga memiliki persamaan,
diantaranya adalah di dalam sebuah bangunan tua berarsitektur Belanda yang
dibangun sekitar akhir abad 19 dan sekarang masing-masing bangunan tua itu
sudah berubah fungsinya menjadi bank dan sekolahan.
Dari
berbagai persamaan yang terjadi diantara dua keluarga tersebut, penulis hendak
menyampaikan bahwa telah terjadi peristiwa aneh mengenai dua tempat berbeda
yang letaknya saling berjauhan itu, yaitu di Semarang dan Batu Sangkar. Kedua
kota tersebut memang memiliki catatan sejarah tersendiri bagi bangsa ini, terutama
pada saat penjajahan Belanda di Indonesia. Sehingga bangunan-bangunan yang
berdiri di kota itu, banyak yang berarsitektur kolonial Belanda. Peristiwa aneh
itu salah satunya adalah kelahiran bayi perempuan tanpa wajah yang memiliki
anatomi tubuh tidak wajar dari bayi-bayi lain. Keanehan lain atas kelahiran
bayi di dua kota itu adalah persamaan pemberian nama terhadap bayi itu sendiri.
Kedua bayi yang lahir di dua tempat berbeda dan mempunyai banyak persamaan itu
sama-sama diberi nama Kembang Kertas oleh orang tuanya masing-masing.
Kedua
bayi yang terlahir secara aneh tersebut memiliki kemampuan yang tidak biasa
dari manusia lain atau yang biasa disebut dengan indera ke enam. Kembang Kertas
1, walaupun dia tidak mau sekolah, tetapi setiap hari ia selalu belajar bahasa
rahasia melalui kenyataan yang dilihatnya. Dia bisa melihat kenyataan hidup ini
baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan
Kembang Kertas 1 yang bisa menunjukkan dengan tepat siapa pelaku sesungguhnya
dari banyak siaran berita peristiwa kriminal, politik, dan berita lain yang
dilihatnya di TV. Kemampuan seperti itulah yang membuat ibu dan ayah Kembang
Kertas 1 menjadi heran, takut dan cemas akan keselamatan dirinya. Kemampuan
yang berbahaya, kemampuan yang bisa membuat kekacauan baru di kehidupan ini.
Kembang
Kertas 2, sama seperti halnya Kembang Kertas 1, ia juga memiliki kemampuan yang
tidak biasa dari manusia lain. Diantaranya, ia mampu melihat seluruh sejarah
yang pernah terjadi. Seperti sejarah awal mula tentara Portugis bergerak dari
Maluku dengan membawa rempah-rempah menuju kembali ke negaranya, kehidupan pada
masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit atau Singosari, Kerajaan Pajajaran dan
Mataram. Kembang Kertas mampu membaca banyak sejarah yang telah ditulis, dia
bisa melacak seluruh jejak sejarah dengan mengalir saja. Kemampuan lain yang
dimiliki oleh Kembang Kertas adalah mampu menguasai berbagai macam bahasa
daerah dan juga bahasa asing. Diantaranya, bahasa Jawa, bahasa Arab, China,
Sansekerta, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, dan lainnya. Kemampuan semacam ini
dinamakan poliglot. Yaitu kemampuan
menguasai berbagai macam bahasa-bahasa manusia di dunia. Padahal, dari
kemampuan yang dimiliki Kembang Kertas 2 itu, sama sekali tidak pernah ada yang
mengajari sebelumnya. Bahkan, ia juga tidak pernah belajar di bangku sekolah,
karena untuk bertemu orang lain saja ia merasa malu dan takut. Kemampuan itu
sudah ada sejak ia berumur 9 tahun.
Amanat
atau pelajaran yang hendak disampaikan penulis kepada pembaca dalam cerpen
Pasir Retak ini adalah nilai kehidupan yang selalu ada dan sangat dekat dengan
manusia. Dalam arti bahwa di kehidupannya, manusia selalu dihadapkan pada
keanehan maupun kejanggalan disekitarnya. Keanehan dan kejanggalan itu dapat
berupa kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki oleh manusia lain. Seperti
halnya Kembang Kertas 1 dan Kembang Kertas 2, mereka memiliki kelebihan
istimewa dari manusia pada umumnya, yaitu kemampuan indera ke enam. Kelebihan
itu oleh sebagian manusia dianggap sebagai keanehan dan kejanggalan. Karena
banyak yang tidak percaya akan kemampuan seperti itu, apalagi kemampuan itu
dimiliki oleh Kembang Kertas 1 dan Kembang Kertas 2 yang terlahir berbeda dari
manusia pada umumnya. Sehingga manusia perlu menyadari akan perbedaan yang ada
disekitarnya tanpa membeda-bedakan fisik maupun kemampuan yang dimiliki oleh
individu lain.
Akhir
dari kisah dalam cerpen itu adalah kesedihan bagi keluarga Kembang Kertas 1 dan
Kembang Kertas 2. Karena Kembang Kertas 1 telah menemui ajalnya, hal ini
dinyatakan dalam kutipan “Kembang air dan kembang api menghapus dirinya,
seperti menghapus air dari tubuh dengan handuk setelah mandi”. Sedangkan
Kembang Kertas 2 juga mengalami hal yang sama, dia hilang begitu saja secara
misterius dalam kehidupan ini. Dibuktikan dalam kutipan “Setelah itu, orang
tidak pernah melihat Kembang Kertas. Keluarganya telah mencarinya ke mana-mana.
Tetapi Kembang Kertas seperti telah sirna begitu saja”.