"Berbagi dengan Sesama, Meskipun Hanya Bisa Memberi Sedikit"

Minggu, 29 Juni 2014

Jurnalistik 3



 “Mujahidin: Bangkit dari Kebangkrutan”

Di tengah terik mentari siang hari, pria paruh baya berperawakan tinggi sedang membereskan tumpukkan kandang ayam di salah satu pojok kios Pasar Batang, Jawa Tengah. Wajahnya sumringah seperti tanpa ada rasa lelah. Tangannya cekatan memindahkan kandang-kandang ayam yang jumlahnya puluhan. Kemeja lengan pendek berwarna biru dan celana hitam yang dikenakan menambah kesan wibawa pada diri pria itu.
Pria paruh baya itu bernama Mujahidin (50), ia adalah seorang wiraswasta. Berkat kegigihan usahanya dalam beternak ayam, kini ia mampu merasakan hasil jerih payahnya. Usaha yang dirintis sejak 23 tahun silam itu sekarang makin besar dan menjanjikan. Tak pelak jika kini ia mampu membuka kios sendiri dan membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Bahkan, dari hasil usahanya itu ia mampu mengantarkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan perguruan tinggi.
Ditemui di tempat usahanya, Minggu (11/5), bapak tiga anak ini mulai mengisahkan awal mula ia berkecimpung di dunia ternak ayam yang digelutinya. Ia menuturkan, bahwa hasil yang didapatkannya saat ini tidak semudah seperti apa yang dipikirkan oleh orang-orang. Berbagai rintangan selalu menghadang ketika ia mulai merintis usahanya, mulai dari cemoohan, remehan, dan kebangkrutan pernah dirasakannya. Namun, semangatnya untuk terus berwirausaha membuat ia tak pernah surut dalam menghadapi rintangan itu.
Pria yang hanya lulusan SMP ini mengatakan, jiwa wirausahanya memang telah dipupuk sejak kecil. Ia sangat prihatin dengan kondisi ekonomi keluarganya pada waktu itu. “Bapak saya sudah meninggal sejak saya berumur 7 tahun. Ibu saya cuma jualan kerupuk di pasar. Terus saya bantu-bantu ibu ngeteri (mendistribusikan) krupuk di warung-warung dekat tempat tinggal saya. Barulah saat masuk SMP saya mulai usaha kecil-kecilan jualan rokok di depan RS. Siti Khodijah Pekalongan”. Ungkapnya dengan penuh semangat.
Setelah lulus SMP, pria yang punya hobi memasak ini tidak melanjutkan ke jenjang SMA karena keterbatasan biaya. Sehingga akhirnya ia memutuskan merantau ke Bandung untuk berjualan tas di pusat penjualan oleh-oleh kota tersebut. Setelah mendapat cukup modal dari berjualan tas, ia bersama dengan teman karibnya bernama Yanto (53) pergi ke Jakarta. Kali ini usaha yang dijajakinya adalah memproduksi dan berjualan tempe. Namun, usaha tersebut hanya mampu bertahan selama 5 bulan saja, selebihnya ia dan temannya mengalami kebangkrutan.
Dengan segala rasa kecewa yang menyelimutinya, Mujahidin terpaksa pulang ke kampung halamannya. Rasa malu dan hampir putus asa sempat ia rasakan setelah beberapa bulan berada di rumah. Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik dan berbagai kegagalan usahanya membuatnya banyak merenung dan berpikir ulang kembali tentang masa depannya. Di sela-sela renungannya itu, terlintas di dalam benaknya untuk beternak ayam. Inilah awal mula Mujahidin menekuni usaha ternak ayam.
“Awalnya modal saya cuma sepeda onthel peninggalan almarhum bapak saya. Kemudian saya bekerja pada seorang keturunan Cina bernama Babaho untuk menjualkan ayam-ayamnya keliling dari kampung ke kampung, terus saya dapat upah sekaligus diberi ayam satu pasang yang akhirnya saya ternakkan sendiri. Setelah bekerja cukup lama pada Babaho, kemalangan kembali saya temui. Usaha ayam yang dijalankan Babaho mengalami kebangkrutan. Walhasil, saya tidak bisa bekerja di sana lagi.” Tutur Mujahidin dengan sedikit kecewa.
Dari ayam pemberian mantan majikannya itulah Mujahidin mulai menapaki sendiri usaha ternak dan jual ayam. Sistem usaha yang dijalankan pun hampir sama ketika ia masih bekerja untuk orang lain. Hanya saja, kini ia menjual ayam miliknya sendiri. Keuntungan yang didapatkannya bisa dikatakan cukup untuk kehidupan sehari-harinya. Hingga akhirnya ia dapat menikahi istrinya dengan uang hasil usahanya sendiri.
Dalam perjalanannya hingga sampai sukses seperti saat ini, sudah banyak rintangan yang dihadapi seperti pada awal ia memulai usaha. Namun, berkat kegigihannya dalam berusaha dan sifat pantang menyerah yang dimilikinya, masalah-masalah itu dapat diselesaikan dengan baik. Hal inilah yang selalu ditularkan pada ketiga anaknya dan para pekerjanya, menurutnya dengan kegigihan yang dimiliki oleh setiap orang, jika dikehendaki Tuhan maka akan menghasilkan sebuah kesuksesan.

Jurnalistik 2



Suasana Ruang S.6.

Jumat (14/3/2014) jurusan PBSID FKIP UMS semester 2 berkuliah di ruang S.6. Saya mengikuti kuliah tersebut karena saya melakukan perbaikan nilai (revisi). Ruang kelas S.6 ini tergolong sempit. Panjang ruangan sekitar 8 m dan lebarnya 4 m. Walaupun sempit tetapi ruangan ini cukup untuk ditempati mahasiswa yang berjumlah banyak. Selain itu, kelebihan lain dari ruang ini adalah fasilitas yang dapat dikatakan lengkap. Terdapat dua buah AC yang di pasang di bagian depan dan belakang, sehingga menjadikan suhu ruang kelas menjadi dingin. Akan tetapi terkadang AC di ruang kelas ini mati. Apabila AC mati, suhu ruangan akan terasa panas. Hal ini disebabkan karena tidak ada sirkulasi udara di ruangan ini. Kemudian fasilitas lainnya yang ada di ruangan ini antara lain LCD dan papan tulis yang digunakan sebagai media pembelajaran. Penerangan di ruang ini juga memadai. Dua lampu neon panjang berwarna putih, didukung dengan dinding tembok yang dicat warna putih dan krem serta pintu kelas yang terbuat dari kaca menjadikan ruangan ini menjadi terang dan nyaman digunakan untuk belajar.
Selain fasilitas yang lengkap dan penerangan yang memadai, penataan tempat duduk di ruang S.6 juga sangat rapi. Paling depan terdapat meja dosen beserta kursinya yang menghadap ke utara. Di atas meja dosen terdapat sebuah buku tulis dan didalamnya terselip kertas ujian milik salah seorang mahasiswa dalam kondisi sobek. Sedangkan untuk penataan tempat duduk bagi mahasiswa diatur sedemikian rupa; disisi sebelah kanan terdapat lima baris tempat duduk yang ditata ke belakang berjumlah 25. Penataan tempat duduk disisi sebelah kiri sama dengan sisi sebelah kanan, sehingga keseluruhan tempat duduk berjumlah 50 buah. Tempat duduk di ruangan ini sebagian besar nyaman, tetapi ada beberapa tempat duduk yang tidak nyaman dikarenakan sudah rusak.
Jumlah mahasiswa di ruang S.6 disesuaikan dengan jumlah tempat duduk di ruang itu. Para mahasiswa di ruang ini terdiri dari mahasiswa putra dan mahasiswi putri. Dalam mengikuti perkuliahan terdapat beberapa peraturan yang diperuntukkan bagi para mahasiswa dan mahasiswi. Peraturan tersebut tertulis di edaran yang di pasang di tembok ruang kelas S.6. Peraturan itu berlaku bagi mahasiswa putra dan putri. Bagi mahasiswa putra peraturan yang berlaku adalah memakai kemeja, celana panjang yang sopan, dan bersepatu. Sedangkan bagi mahasiswi putri diwajibkan memakai jilbab, bawahan rok panjang yang sopan, dan bersepatu. Untuk jilbab, mahasiswi diberikan kebebasan memakai jilbab yang berbeda-beda antara mahasiswi satu dengan yang lain. Tetapi dari peraturan tersebut masih terdapat beberapa mahasiswa yang melanggar tata tertb perkuliahan. Diantaranya masih terdapat beberapa mahasiswa putra yang memakai kaos oblong untuk kuliah, dan celana sobek di bagian lutut. Hal serupa terjadi pada mahasiswi putri, ada beberapa mahasiswi yang memakai celana panjang ketat, sehingga memperlihatkan lekukan tubuhnya.

Jurnalistik 1


Bahasa Gaul: Degradasi Bahasa atau Amnesia Budaya?


Sabtu (22/3/2014), pukul 12.15 WIB. Abdul Mukhlis (pewawancara) melakukan bincang-bincang ringan dengan Ibu Laili Etika Rahmawati (narasumber). Beliau adalah seorang praktisi pendidikan yang mengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Perbincangan ini membahas seputar isu hangat mengenai pendidikan karakter yang mulai luntur di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:

    Abdul    : “Selamat siang, Bu.”
                Bu Laili : “Selamat siang.” (Sambil mengambil buku dari dalam tas miliknya).
                Abdul    : “Ibu ada waktu sebentar? Saya mau berdialog sedikit, Bu”
                Bu Laili : “Iya, 7 menit ya, Dul.”
  Abdul    : “Iya Bu, saya cuma sebentar saja. Begini Bu, akhir-akhir ini kita sering mendengar tentang karakter yang dikaitkan dengan pendidikan. Bagaimana pendapat Ibu sebagai seorang praktisi pendidikan melihat fenomena ini?”
                Bu Laili : “Ow, begitu. Kebetulan hari ini saya mendapatkan undangan seminar tentang pendidikan karakter dari Dinas Pendidikan Sukoharjo. (Mengambil undangan tersebut dan menunjukkannya kepada saya). Menurut pendapat pribadi saya, ketika ada suatu instansi atau suatu kelompok masyarakat menyelenggarakan seminar bertema semacam ini, artinya banyak orang yang khawatir dengan adanya sikap, karakter dan kondisi nasionalisme generasi muda yang kian menurun.”
              Abdul    : “Jadi maksud Ibu, pendidikan karakter yang berkembang akhir-akhir ini merupakan upaya penanaman kembali karakter bagi generasi muda sekarang?”
                     Bu Laili : “Iya, itu salah satunya.”
                     Abdul    : “Lalu alasan lain menurut Ibu apa?”
                Bu Laili : “Selain penanaman kembali karakter pada generasi muda, ada hal lain yang sebenarnya menjadi pokok persoalan lunturnya karakter itu.” (Sambil mengerutkan dahinya).
          Abdul    : “Apa itu, Bu?”
                Bu Laili : “Di kalangan orang awam menyebutnya sebagai degradasi bahasa. Padahal bahasa yang kita gunakan itu sebenarnya tidak mengalami degradasi. Hanya saja bahasa itu berkembang ke arah negatif, seperti bahasa Slang, prokem, alay, dan sebagainya yang disebut bahasa gaul. Perlu kita cermati, yang terjadi sebenarnya adalah amnesia budaya, atau pengguna bahasa lupa akan jati dirinya sebagai orang timur yang sangat menjunjung budaya kesopanan.” (Sambil memperhatikan jam tangan yang dikenakannya).
                Abdul    : “Berarti ada anggapan yang salah selama ini dalam masyarakat kita, Bu.”
                Bu Laili : “Iya, dan itu adalah tugas kita sebagai orang bahasa untuk meluruskan anggapan masyarakat kita selama ini. Saya rasa cukup ya dul, saya mau mengajar dulu.” (Mempersiapkan jurnal untuk dibawa).
                Abdul    : “Iya, Bu. Terima kasih atas waktunya. Saya sudah cukup mendapat informasi dari Ibu. Maaf mengganggu waktu istirahat Ibu.”
                Bu Laili : “Halah, tidak apa-apa, Dul. Sama-sama.” (Jawabnya sambil tersenyum).

       7 menit pun berlalu. Perbincangan mengenai lunturnya karakter dan pendidikan karakter juga telah usai. Jawaban yang singkat dan jelas telah pewawancara dapatkan. Semoga bincang-bincang singkat ini dapat membuka tabir tentang pentingnya sebuah karakter.

Rabu, 21 Mei 2014

Puisi: Kecuaian Pena




Kecuaian Pena
Oleh: Abdul Mukhlis

Pena itu, tak lurus ku cengkeram
Sukar kuajak bermain coretan
huruf,
kata,
angka,
Tak bisa ku tuliskan
Hanya goresan,
yang tak pernah berkesan
Ah, aku bosan dengan keadaan...
Pena itu, kapan kau berteman denganku?
Beribu huruf,
kata,
dan angka,
Ingin ku limpahkan lewat ujung tubuhmu
Pena itu, tetap cuai kepadaku.
22 Mei 2013

Puisi: Kursi Tua




Kursi Tua
Oleh: Abdul Mukhlis

Kayu lapuk tak tak terjaga, tubuh menua tak terurus.
Ketika itu kokoh nan keras, bahkan sekeras batu karang yang tahan diterpa ombak lautan.
Beribu memori terkumpul saat dekat dengannya,
Kini hanya tersisa sekeping romansa di kala itu.
Dulu kau pernah berjaya untukku.

            20 Mei 2013