"Berbagi dengan Sesama, Meskipun Hanya Bisa Memberi Sedikit"

Selasa, 25 Maret 2014

Raditya Dika dan Kalimat Hebat di Kambing Jantan


 
Siapa si anak muda yang gak kenal Raditya Dika? Yang gak kenal mungkin berarti itu anak muda di tahun ‘90-an kali ya, karena di jaman itu bang Radit masih kecil dan belum seperti sekarang ini. Jujur, gue juga baru tahu bang Radit waktu awal kuliah (kira-kira tahun 2011). Loh, berarti gue juga anak muda tahun ‘90-an dong. Padahal tahun ’90 gue juga belum dilahirin sama Ibu. Hahaha...
Awalnya, gue tahu bang Radit hanya sebatas sebagai seorang penulis buku bergenre komedi. Lama-kelamaan, gue kenal bang Radit bukan cuma sebagai penulis buku, tapi juga seorang sutradara, pemain film dan comic di acara TV nasional. Wah, ketinggalan info lagi nih gue. Parah banget ya ternyata. Niatnya mau ngejek orang yang gak tahu bang Radit, malah gue sendiri yang ternyata kudet. Hahaha...
Dari beberapa film bang Radit yang udah gue tonton, semuanya si diadaptasi dari buku-buku yang ditulisnya. Cuma ada beberapa scene aja yang berubah dari isi buku itu. Dan asal temen-temen tahu ya, buku dan film bang Radit baru gue dapet di tahun 2013 kemarin. Wah, lagi-lagi gue ketinggalan nih. Hahaha... Gak usah ikut ketawa lu.!!!
Kali ini gue pingin ngebahas film bang Radit yang pertama, Kambing Jantan. Film itu bergenre drama tragedi komedi. Kenapa gue katakan tragedi komedi? Karena selain banyak adegan konyol yang mengundang kelucuan, juga diimbangi dengan adegan yang bisa mengiris hati dan memancing hati seseorang jadi sesak alias mau nangis. Hahaha... Oh iya, film ini juga banyak adegan romantisnya lho. Ada salah satu scene yang bikin gue sampe sekarang selalu merinding kalo denger kalimat itu diucapin. Agak lebay si, tapi inilah sisi manusiawi seorang cowok tulen kaya gue. Nih gue kutipin dikit dari film itu.
“Yang namanya gelap itu gak ada, yang ada hanya kekurangan cahaya. Ini mirip seperti hubungan gue (Radit) dengan kebo (mantannya), padahal kalo lampu di luar itu dinyalain atau bulan lebih diterangin, mungkin kita bisa melihat pemandangan bagus. Masalahnya ada pada jarak. Jarak, jarak, jarak, jarak. Gue ulangin kata-kata itu sampe gak ada artinya lagi. Ya, mungkin jarak yang udah menggelapkan hubungan ini atau kita udah gak sesimpel ngelihat bulan yang sama lagi.”
Keren banget gak kata-kata itu? Bagi yang gak tersentuh ato tergugah hatinya, waspadalah!!! Mungkin hati temen-temen udah pada kena penyakit semua alias gak punya hati. Hahaha... Sorry, just kidding. Silakan cermati, resapi, dan cerna makna setiap katanya. Ini cocok banget bagi para LDR lovers yang pingin mutusin salah satu pasangannya. Oppss, bukan maksud gue mengajak, menyuruh ato menghasut temen-temen yang LDR buat putus lho ya.!!!

25/3/2014
20:11

Minggu, 23 Maret 2014

Politik Kampung

Bicara masalah politik di tahun politik emang gak akan pernah ada habisnya. Ngomong-ngomong masalah itu, saya pernah nih iseng-iseng nulis politik di kampung saya yang saya posting di kompasiana. Awalnya sih, itu cuma opini saya saja, namun lambat laun opini itu berubah jadi fakta.

Politisasi Tempat Ibadah dalam Bulan Suci Ramadhan
Beginilah kalau ibadah dipolitisasi. Umat yang menginginkan ketenangan dalam beribadah akhirnya merasa terganggu. Ada yang merasa tertarik, disentil, tersinggung, bahkan sakit hati. Lebih jauh dari itu, sejatinya umat hanya butuh ketenangan, kenyamanan sekaligus pencerahan hati di bulan suci Ramadhan ini. Akan tetapi, politisasi ibadah yang dilakukan sekelompok orang ini tidak bisa dihindari. Memang hal tersebut belum bisa terbukti secara gamblang. Dalam hal ini, MUI diwakili oleh Sekretaris Komisi Fatwa Asrorun Niam menyatakan “Masjid dan tempat ibadah bisa menjadi sumber inspirasi dalam berpolitik. Tapi tidak mempolitisasi masjid dan tempat ibadah untuk kepentingan politik sesaat.” Lihat http://news.detik.com/read/2013/07/10/160743/2298271/10/mui-imbau-jangan-sampai-ada-politisasi-masjid-saat-ramadan. Sebelumnya, umat atau warga merasa tenang dalam menjalankan ibadah suci umat Islam yang dilaksanakan setahun sekali ini. Tetapi, setelah datangnya sekelompok orang yang menguasai dan mengganti kepengurusan tempat ibadah (mushalla), yang diindikasikan berbau politik ini warga jadi punya penilaian yang berbeda. Pasalnya, kepengurusan yang terpilih 75% berasal dari kelompok yang mengusung kepentingan politik tersebut, sisanya adalah pengurus lama yang memang sudah mengurus mushalla itu sejak lama.
Mengingat tahun depan adalah tahun akan dilaksanakannya pemilu, para calon wakil rakyat yang telah menyelesaikan verifikasi mulai pasang badan guna memantapkan langkah berikutnya pada saat pemilihan tiba. Salah satunya adalah dengan terjun ke rumah ibadah (mushalla). Hal ini terjadi di tempat tinggal saya, dimana ada seseorang yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dari partai XXX, mulai bekerja untuk menarik simpati masyarakat sekitar agar dirinya lebih dikenal. Lebih jauh dari itu, pangkal atau ujung dari tujuan calon wakil rakyat itu adalah agar masyarakat sekitar memilihnya. Sungguh, ironis yang tak terkira di benak kita! Bulan Ramadhan yang sangat suci dan senantiasa dinanti-nantikan oleh umat muslim seluruh dunia menjadi rusak citra dan substansinya. Padahal, apabila kembali ke pokok persoalan awal bahwa sejatinya umat hanya butuh ketenangan, kenyamanan sekaligus pencerahan hati di bulan suci Ramadhan ini.
Dari apa yang sudah saya tangkap, saya dapat mengerti apa yang dirasakan oleh para warga masyarakat ini. Politik yang masuk dalam praktik keagamaan yang dilakukan oleh sekelompok orang itu dirasa mengubah tatanan praktik keagamaan mereka sehari-hari. Saya tidak perlu menjelaskannya lebih jauh, karena hal ini akan membuat sentimen salah satu pihak atau golongan. Di samping itu, sekelompok orang yang membawa idealisme kelompoknya masing-masing tersebut menurut para warga masyarakat adalah sesuatu yang baru bagi mereka. Jika ditinjau dari kacamata politik demokrasi, cara semacam ini disebut pemaksaan idealisme. Padahal, setiap orang punya pandangan atau idealismenya sendiri tentang politik dalam kehidupannya.
Komunikasi di luar Tempat Ibadah
Dalam hal ini, kita sepatutnya senantiasa mencontoh Rasulullah SAW yang sudah memberikan pelajaran kepada kita mengenai cara berpolitik yang sesuai dengan aturan Allah SWT. Rasulullah SAW dalam berpolitik selalu menggunakan cara yang santun, berakhlak, dan menjunjung tinggi persaudaraan dan persatuan umat. Hal ini hendaknya dicontoh oleh para calon wakil rakyat yang mengaku sebagai umat dan pengikut nabi Muhammad SAW. Bukan hanya jargon yang menjadi identitas kelompok tersebut semata.
Cara santun yang hendaknya dilakukan oleh kelompok tersebut adalah dengan menerima segala kritik atau saran yang membangun. Di samping itu juga menghargai perbedaan pendapat yang diusulkan oleh orang lain di luar kelompoknya, bukan malah menolak serta menyalahkan atau meremehkan. Cara kedua adalah berakhlak, akhlak adalah tingkah laku yang dimiliki oleh manusia. Akhlak para politisi hendaknya berakhlak baik (karimah). Hal ini dilakukan untuk menjaga perasaan warga atau masyarakat lain, bisa dilakukan dengan cara menghormati warga atau masyarakat tersebut, bukan malah besikap acuh ketika berpapasan di jalan. Terakhir, menjunjung tinggi persaudaraan dan persatuan umat (ukhuwah). Rasulullah Muhammad SAW adalah orang yang senantiasa menjaga tali persaudaraan dan persatuan dengan umatnya. Hal ini menjadi sentilan dan peringatan bagi orang yang memiliki idealisme pribadi dan merasa kelompoknya paling benar sendiri agar senantiasa menjaga ukhuwah terhadap umat dan warga masyarakat yang memiliki pandangan berbeda. Ketiga cara atau solusi tersebut sangatlah bijak, dan lebih bijak lagi apabila dilakukan di luar tempat ibadah tersebut. Sehingga umat atau warga masyarakat dapat beribadah dengan khusyu’ di dalam suci Ramadhan ini tanpa dibayangi oleh intrik politik yang dilakukan oleh orang-orang tertentu. Waallahu’alam bisshowab….

Sabtu, 22 Maret 2014

Aku, Buku, dan Sosok Soe

   Bulan ini adalah bulan kedua di tahun 2014. Sebelum terlalu jauh aku menodaimu, ijinkanlah segenap hatiku untuk memohon maaf kepadamu, wahai buku. Maafkan aku yang telah lama tak menyentuhmu, mencumbuimu, dan menodaimu dengan goresan huruf demi huruf, kata demi kata, frasa demi frasa, klausa demi klausa, kalimat demi kalimat serta paragraf demi paragraf. Sekali lagi, kusampaikan permohonan maafku ini kepadamu, wahai buku.
    Perlu engkau tahu, wahai buku. Akhir-akhir ini aku lebih senang menjadi batu. Diam, ajeg, dan asyik dengan duniaku sendiri. Aku berdekatan dengan musik dalam kejauhan kita. Aku berkenalan dengan sandiwara lewat dunia drama. Dan aku menjauhimu karena waktu. Namun, aku tak pernah meninggalkan saudara dekatmu, wahai buku. Aku senantiasa mengencani kata-kata, frasa, klausa, kalimat dan paragraf lewat membaca.
     Perkara itu semua adalah hal baru dalam hidupku, wahai buku. Aku mengakui, perkara-perkara itu cukup memikat hatiku dan membuat diriku terlena hingga aku meninggalkanmu. Namun engkau janganlah bersedih. Ketahuilah, tak ada yang lebih mengasyikkan selain dirimu, wahai buku. Percayalah...
      Engkau bisa lihat pada detik ini, aku kembali lagi mencarimu, menemuimu, dan menggaulimu malam ini. Aku begitu membutuhkanmu, wahai buku. Banyak perkara lain yang ingin kugoreskan padamu. Aku tak kuat menahan perkara-perkara ini di kepalaku sendiri. Aku ingin berbagi perkara ini denganmu, wahai buku.
       Perkara pertama yang ingin kubagi denganmu adalah mengenai inspirator baruku, "Soe Hok Gie". Ya, dialah yang menjadikanku keranjingan terhadap huruf, kata, frasa, klausa, kalimat juga paragraf. Dia pula yang mengajariku untuk menggaulimu lewat tulisan-tulisan jelekku ini.
       Aku mengenal Soe (panggilan Soe Hok Gie) secara tak sengaja. Waktu itu aku memutar mp3 milik temanku, dan aku mendapati puisi Soe yang berjudul "Cinta" dan "Mati Muda". Aku begitu terkesan dibuatnya. Barisan lirik yang mengiris hatiku, mampu disembuhkan lewat ending puisi yang ditulisnya.
        Setelah kejadian itu, aku selalu penasaran terhadap sosok Soe. Aku banyak mencari informasi tentang Soe. Aku tangkap semua info itu dalam memori otakku. Aku sungguh tertegun pada sosok Soe ini. Sosok muda penuh semangat, independen, dan idealis walaupun terkadang pesimis.
       Semua itu aku dapati setelah aku membaca buku hariannya yang berhasil diterbitkan oleh kerabatnya. Buku harian milik Soe berjudul "Catatan Seorang Demonstran". Kedengarannya begitu bengis di telinga orang-orang awam. Namun merupakan hal biasa bagi diriku dan para teman-teman aktivis mahasiswa.
       Catatan Seorang Demonstran mampu membuka mata dan cakrawala pemikiranku. Soe begitu lantang dan vokal mengutarakan kata hatinya. Soe juga tak pernah gentar menghadapi pasukan baju loreng yang merupakan jongos-jongos pemerintah Orde Lama. satu hal lagi yang membuatku kagum pada sosok Soe. Dia mampu berdiri di tengah-tengah kubu yang saling bersitegang, waktu itu ormawa H*I vs P***I. Soe melakukan hal itu atas dua dasar, yaitu keinginan hilangnya diskriminasi dan enyahnya penyakit SARA yang selalu menjangkiti setiap bangsa, tak terkecuali bangsa ini.
       Soe benar-benar sosok pemuda harapan kaum kritisme waktu itu, tapi di sisi lain di juga jadi bumerang bagi kaum tua yang berlaku semena-mena. Soe berjuang melawan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah tiran. Atas sebab itu, Soe dianggap berbahaya oleh mereka.
       Sisi lain dari sosok Soe yang aku ketahui adalah kecitaannya terhadap alam. Alam yang mengajarkan Soe menjadi kuat. Alam juga mengajari Soe setia dan puitis dalam tiap lirik yang ditulisnya. Lalu alam pula yang menjadikan Soe bergairah dalam menyuarakan keadilan atas penindasan.
       Perkara itu yang aku ingin bagi denganmu, wahai buku. Kini, aku telah membaginya denganmu, menodaimu lewat untaian kata yang menjelaskan perkara inspiratorku, Soe Hok Gie. Lain waktu, aku akan kembali lagi mengencanimu, menjamahmu, dan menodaimu lewat goresan-goresan pena milikku ini, wahai buku.

3/2/2014
20:30 WIB

Minggu, 16 Maret 2014

Menyapa Tahun 2014

Selamat datang tahun 2014. Aku terlambat menyapamu tahun ini. Semoga di tahun ini memberikan keberkahan bagiku, bagi anda, dan semua umat manusia. Aamiin.!! Kali ini aku datang membawa setumpuk kumpulan tugas sewaktu kuliah. Sekadar untuk berbagi dengan teman-teman yang ingin mencari pengetahuan dan menggugurkan kewajibannya dalam membuat tugas atau paper dari guru maupun dosen.