Bicara masalah politik di tahun politik emang gak akan pernah ada habisnya. Ngomong-ngomong masalah itu, saya pernah nih iseng-iseng nulis politik di kampung saya yang saya posting di kompasiana. Awalnya sih, itu cuma opini saya saja, namun lambat laun opini itu berubah jadi fakta.
Politisasi Tempat Ibadah dalam Bulan Suci Ramadhan
Beginilah
kalau ibadah dipolitisasi. Umat yang menginginkan ketenangan dalam
beribadah akhirnya merasa terganggu. Ada yang merasa tertarik, disentil,
tersinggung, bahkan sakit hati. Lebih jauh dari itu, sejatinya umat
hanya butuh ketenangan, kenyamanan sekaligus pencerahan hati di bulan
suci Ramadhan ini. Akan tetapi, politisasi ibadah yang dilakukan
sekelompok orang ini tidak bisa dihindari. Memang hal tersebut belum
bisa terbukti secara gamblang. Dalam hal ini, MUI diwakili oleh
Sekretaris Komisi Fatwa Asrorun Niam menyatakan “Masjid dan tempat
ibadah bisa menjadi sumber inspirasi dalam berpolitik. Tapi tidak
mempolitisasi masjid dan tempat ibadah untuk kepentingan politik
sesaat.” Lihat http://news.detik.com/read/2013/07/10/160743/2298271/10/mui-imbau-jangan-sampai-ada-politisasi-masjid-saat-ramadan.
Sebelumnya, umat atau warga merasa tenang dalam menjalankan ibadah suci
umat Islam yang dilaksanakan setahun sekali ini. Tetapi, setelah
datangnya sekelompok orang yang menguasai dan mengganti kepengurusan
tempat ibadah (mushalla), yang diindikasikan berbau politik ini warga
jadi punya penilaian yang berbeda. Pasalnya, kepengurusan yang terpilih
75% berasal dari kelompok yang mengusung kepentingan politik tersebut,
sisanya adalah pengurus lama yang memang sudah mengurus mushalla itu
sejak lama.
Mengingat
tahun depan adalah tahun akan dilaksanakannya pemilu, para calon wakil
rakyat yang telah menyelesaikan verifikasi mulai pasang badan guna
memantapkan langkah berikutnya pada saat pemilihan tiba. Salah satunya
adalah dengan terjun ke rumah ibadah (mushalla). Hal ini terjadi di
tempat tinggal saya, dimana ada seseorang yang mencalonkan diri sebagai
wakil rakyat dari partai XXX, mulai bekerja untuk menarik simpati
masyarakat sekitar agar dirinya lebih dikenal. Lebih jauh dari itu,
pangkal atau ujung dari tujuan calon wakil rakyat itu adalah agar
masyarakat sekitar memilihnya. Sungguh, ironis yang tak terkira di benak
kita! Bulan Ramadhan yang sangat suci dan senantiasa dinanti-nantikan
oleh umat muslim seluruh dunia menjadi rusak citra dan substansinya.
Padahal, apabila kembali ke pokok persoalan awal bahwa sejatinya umat
hanya butuh ketenangan, kenyamanan sekaligus pencerahan hati di bulan
suci Ramadhan ini.
Dari
apa yang sudah saya tangkap, saya dapat mengerti apa yang dirasakan
oleh para warga masyarakat ini. Politik yang masuk dalam praktik
keagamaan yang dilakukan oleh sekelompok orang itu dirasa mengubah
tatanan praktik keagamaan mereka sehari-hari. Saya tidak perlu
menjelaskannya lebih jauh, karena hal ini akan membuat sentimen salah
satu pihak atau golongan. Di samping itu, sekelompok orang yang membawa
idealisme kelompoknya masing-masing tersebut menurut para warga
masyarakat adalah sesuatu yang baru bagi mereka. Jika ditinjau dari
kacamata politik demokrasi, cara semacam ini disebut pemaksaan
idealisme. Padahal, setiap orang punya pandangan atau idealismenya
sendiri tentang politik dalam kehidupannya.
Komunikasi di luar Tempat Ibadah
Dalam
hal ini, kita sepatutnya senantiasa mencontoh Rasulullah SAW yang sudah
memberikan pelajaran kepada kita mengenai cara berpolitik yang sesuai
dengan aturan Allah SWT. Rasulullah SAW dalam berpolitik selalu
menggunakan cara yang santun, berakhlak, dan menjunjung tinggi
persaudaraan dan persatuan umat. Hal ini hendaknya dicontoh oleh para
calon wakil rakyat yang mengaku sebagai umat dan pengikut nabi Muhammad
SAW. Bukan hanya jargon yang menjadi identitas kelompok tersebut semata.
Cara
santun yang hendaknya dilakukan oleh kelompok tersebut adalah dengan
menerima segala kritik atau saran yang membangun. Di samping itu juga
menghargai perbedaan pendapat yang diusulkan oleh orang lain di luar
kelompoknya, bukan malah menolak serta menyalahkan atau meremehkan. Cara
kedua adalah berakhlak, akhlak adalah tingkah laku yang dimiliki oleh
manusia. Akhlak para politisi hendaknya berakhlak baik (karimah).
Hal ini dilakukan untuk menjaga perasaan warga atau masyarakat lain,
bisa dilakukan dengan cara menghormati warga atau masyarakat tersebut,
bukan malah besikap acuh ketika berpapasan di jalan. Terakhir,
menjunjung tinggi persaudaraan dan persatuan umat (ukhuwah).
Rasulullah Muhammad SAW adalah orang yang senantiasa menjaga tali
persaudaraan dan persatuan dengan umatnya. Hal ini menjadi sentilan dan
peringatan bagi orang yang memiliki idealisme pribadi dan merasa
kelompoknya paling benar sendiri agar senantiasa menjaga ukhuwah
terhadap umat dan warga masyarakat yang memiliki pandangan berbeda.
Ketiga cara atau solusi tersebut sangatlah bijak, dan lebih bijak lagi
apabila dilakukan di luar tempat ibadah tersebut. Sehingga umat atau
warga masyarakat dapat beribadah dengan khusyu’ di dalam suci Ramadhan
ini tanpa dibayangi oleh intrik politik yang dilakukan oleh orang-orang
tertentu. Waallahu’alam bisshowab….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar