Bahasa Gaul:
Degradasi Bahasa atau Amnesia Budaya?
Sabtu
(22/3/2014), pukul 12.15 WIB. Abdul Mukhlis (pewawancara) melakukan
bincang-bincang ringan dengan Ibu Laili Etika Rahmawati (narasumber). Beliau
adalah seorang praktisi pendidikan yang mengajar di Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS). Perbincangan ini membahas seputar isu hangat mengenai
pendidikan karakter yang mulai luntur di Indonesia. Berikut petikan
wawancaranya:
Abdul : “Selamat siang, Bu.”
Bu
Laili : “Selamat siang.” (Sambil mengambil
buku dari dalam tas miliknya).
Abdul : “Ibu ada waktu sebentar? Saya mau
berdialog sedikit, Bu”
Bu
Laili : “Iya, 7 menit ya, Dul.”
Abdul : “Iya Bu, saya cuma sebentar saja. Begini
Bu, akhir-akhir ini kita sering mendengar tentang karakter yang dikaitkan dengan
pendidikan. Bagaimana pendapat Ibu sebagai seorang praktisi pendidikan melihat
fenomena ini?”
Bu
Laili : “Ow, begitu. Kebetulan hari ini
saya mendapatkan undangan seminar tentang pendidikan karakter dari Dinas
Pendidikan Sukoharjo. (Mengambil undangan tersebut dan menunjukkannya kepada
saya). Menurut pendapat pribadi saya, ketika ada suatu instansi atau suatu
kelompok masyarakat menyelenggarakan seminar bertema semacam ini, artinya
banyak orang yang khawatir dengan adanya sikap, karakter dan kondisi nasionalisme
generasi muda yang kian menurun.”
Abdul : “Jadi maksud Ibu, pendidikan karakter yang
berkembang akhir-akhir ini merupakan upaya penanaman kembali karakter bagi
generasi muda sekarang?”
Bu
Laili : “Iya, itu salah satunya.”
Abdul : “Lalu alasan lain menurut Ibu apa?”
Bu
Laili : “Selain penanaman kembali karakter
pada generasi muda, ada hal lain yang sebenarnya menjadi pokok persoalan
lunturnya karakter itu.” (Sambil mengerutkan dahinya).
Abdul : “Apa itu, Bu?”
Bu
Laili : “Di kalangan orang awam
menyebutnya sebagai degradasi bahasa. Padahal bahasa yang kita gunakan itu
sebenarnya tidak mengalami degradasi. Hanya saja bahasa itu berkembang ke arah
negatif, seperti bahasa Slang, prokem, alay, dan sebagainya yang disebut bahasa
gaul. Perlu kita cermati, yang terjadi sebenarnya adalah amnesia budaya, atau
pengguna bahasa lupa akan jati dirinya sebagai orang timur yang sangat
menjunjung budaya kesopanan.” (Sambil memperhatikan jam tangan yang
dikenakannya).
Abdul : “Berarti ada anggapan yang salah selama
ini dalam masyarakat kita, Bu.”
Bu
Laili : “Iya, dan itu adalah tugas kita
sebagai orang bahasa untuk meluruskan anggapan masyarakat kita selama ini. Saya
rasa cukup ya dul, saya mau mengajar dulu.” (Mempersiapkan jurnal untuk
dibawa).
Abdul : “Iya, Bu. Terima kasih atas waktunya. Saya
sudah cukup mendapat informasi dari Ibu. Maaf mengganggu waktu istirahat Ibu.”
Bu
Laili : “Halah, tidak apa-apa, Dul.
Sama-sama.” (Jawabnya sambil tersenyum).
7 menit pun berlalu. Perbincangan mengenai lunturnya karakter dan pendidikan karakter juga telah usai. Jawaban yang singkat dan jelas telah pewawancara dapatkan. Semoga bincang-bincang singkat ini dapat membuka tabir tentang pentingnya sebuah karakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar